BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dengan meningkatnya pembangunan nasional dan juga terjadinya peningkatan industrialisasi diperlukan saran-sarana yang mendukung lancarnya proses industrialisasi tersebut, yaitu dengan meningkatkan sektor pertanian. Kondisi pertanian di Indonesia di masa mendatang banyak yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah satu bentuknya akan mengarah pada pola pertanian yang makin monokultur, baik itu pada pertanian darat maupun akuakultur. Dengan kondisi tersebut, maka berbagai jenis penyakit yang tidak dikenal atau menjadi masalah sebelumnya akan menjadi kendala bagi peningkatan hasil berbagai komoditi agroindustri. Peningkatan sektor pertanian memerlukan berbagai sarana yang mendukung agar dapat dicapai hasil yang memuaskan dan terutama dalam hal mencukupi kebutuhan nasional dalam bidang pangan/sandang dan meningkatkan perekonomian nasional dengan mengekspor hasil ke luar negeri.
Sarana-sarana yang mendukung peningkatan hasil di bidang pertanian ini adalah alat-alat pertanian, pupuk, bahan-bahan kimia yang termasuk di dalamnya adalah pestisida. Di negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang yang mencukup kebutuhannya sendiri dalam bidang pangan/sandang, penggunaan bahan-bahan kimia pertanian membantu pada kemajuan dan perkembangan pertanian selanjutnya. Tetapi di negara-negara berkembang telah mengurangi penggunaan dari bahan-bahan kimia pertanian karena merupakan salah satu penyebab utama dari pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan produksi pertanian dan membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida tidak saja pada lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan pada perairan. Bagaimana cara untuk meningkatkan produksi pertanian disamping juga menjaga keseimbangan lingkungan agar tidak terjadi pencemaran akibat penggunaan pestisida yang dapat mengganggu stabilitas lingkungan pertanian. Untuk itu perlu diketahui gambaran umum dari pestisida dan alternatif lain yang dapat menggantikan peranan pestisida pada lingkungan pertanian dalam mengendalikan hama, penyakit dan gulma, salah satunya adalah dengan menggunakan pestisida biologi.
Dari latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan jenis-jenis pestisida?
2. Apa pengertian dan jenis-jenis pestisida biologi?
3. Apa keuntungan dari pestisida biologi?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis pestisida
2. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis pestisida biologi
3. Mengetahai keuntungan dari pestisida biologi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud hama bagi petani sangat luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman, tidak termasuk pupuk.
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan dan ternak.
5. Memberantas dan mencegah hama-hama air.
6. Memberikan atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Gangguan pada tanaman bisa disebabkan oleh faktor abiotik maupun biotik. Faktor abiotik diantaranya keadaan tanah (struktur tanah, kesuburan tanah, kekurangan unsur hara) ; tata air (kekurangan, kelebihan, pencemaran air) ; keadaan udara (pencemaran udara) dan faktor iklim. Gangguan dari faktor abiotik bisa diatasi dengan tindakan pengoreksian atau tidak bisa dikoreksi dengan penggunaan pestisida. Sedangkan faktor biotik yang menyebabkan gangguan pada tanaman atau biasa disebut dengan organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : Hama (serangga, tungau, hewan menyusui, burung dan moluska) ; Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda) dan Gulma (tumbuhan pengganggu). Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa dikendalikan dengan pestisida.
2.2 Penggolongan Pestisida Berdasarkan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)
1. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa mematikan semua jenis serangga.
2. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungsi/cendawan.
3. Bakterisida merupakan senyawa mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.
4. Nermatisida digunakan untuk mengendalikan nematode/cacing
5. Akarisida atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.
6. Rodenstisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
7. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput, bekicot serta tripisan yang banyak dijumpai di tambak.
8. Herbisida adalah senyawa kimia beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu seperti gulma.
9. Algasida digunakan untuk mengendalikan ganggang (algae).
10. Pilkisida digunakan untuk mengendalikan ikan buas.
11. Avisida digunakan untuk meracuni burung perusak hasil pertanian.
12. Antraktan digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga.
13. ZPT digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman yang efeknya bisa memacu pertumbuhan atau menekan pertumbuhan.
14. Plant Activator digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan tumbuhan sehingga tahan terhadap penyakit tertentu.
2.3 Pestisida Biologi
Pestisida Biologi adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi. Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari alam seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat, pestisida nabati bersifat ramah lingkungan karena bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia maupun lingkungan.
Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati.
· Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
· Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga ( hama ) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).
Pestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam dengan berdasarkan fungsi dan asalnya. Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungisida Biologi (Biofungisida) berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos yang berarti jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.
Beberapa fungisida yang telah digunakan adalah:
· Spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.
· Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.
· Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat.
2. Herbisida Biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Phytophthora palmivora yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Colletotrichum gloeosporioides digunakan pada tanaman padi dan kedelai.
3. Insektisida Biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis.
Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jangkrik. Cacing yang pertama kali sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap.
4. Nematisida Biologi (Bionematisida), berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani nema yang berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing yang hidup di akar).
2.3.1 Insektisida Biologi
Pengendalian hayati merupakan teknik dasar yang penting dalam konsep pengendalian hama, yakni dengan memanfaatkan musuh alami serangga hama itu sendiri yang berupa predator, parasit dan patogen. Patogen serangga adalah mikroorganisme (cendawan, bakteri, virus, protozoa, nematoda dan mikroba lainnya) yang dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada serangga hama. Patogen serangga merupakan agensia hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pengendalian hama. Teknik pengendalian hama ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat menibulkan penyakit pada serangga disebut “mikroorganisme entomopatogen”.
Insektisida biologi adalah pestisida yang bahan aktifnya menggunakan mikroorganisme seperti bakteri, protozoa, virus, nematode, maupun jamur untuk mengatasi masalah hama dan penyakit tanaman yang disebabkan oleh serangga.
2.3.1.1 Agen Hayati yang berperan sebagai insektisida biologi
Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai insektisida biologi adalah dari jenis bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk jamur yang lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda yakni Heterorhabditis indicus.
1. Bakteri Patogen Serangga (Bacillus thuringiensis)
Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang aman bagi lingkungan dan makhluk hidup lain adalah pengendalian secara biologis dengan menggunakan insektisida mikroba. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang sering digunakan sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan suatu protein yang bersifat toksik bagi serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein ini bersifat mudah larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah masuk ke dalam saluran pencemaan serangga. Bacillus thuringiensis mudah dikembangbiakkan, dan dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama tanaman. Pemakaian biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul dari pemakaian pestisida kimia.
Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di bagi ke dalam dua kelompok besar, yakni bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri yang tidak membentuk spora terdapat dalam saluran pencernaan serangga, merupakan patogen yang potensial menyerang bagian pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini rendah. Sedangkan bakteri pembentuk spora menginveksi larva di dalam mesofagus, kemudian membentuk spora dan sporanya menyerang bagian tubuh serangga. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies bakteri entomopatogen yang diisolasi dari serangga yang sakit adalah bakteri yang tidak membentuk spora, akan tetapi untuk produksi komersial, bakteri yang membentuk spora lebih mudah untuk diformulasikan dan dapat di simpan lebih lama karena dalam bentuk spora bakteri tidak membutuhkan makanan.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah species Bacillus thuringiensis (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.
Gambar 2.1. Bacillus thuringiensis
a. Klasifikasi Bacillus thuringiensis
Kingdom : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus thuringiensis
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus thuringiensis
b. Deskripsi
Bacillus thuringiensis adalah bakteri tanah gram positif, pembentuk spora, berbentuk batang dengan lebar 1,0 sampai 1,2 µm dan panjang 3,0 sampai 5,0 µm (Sembiring, 2004). Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer melalui konjugasi antargalur B. thuringiensis, maupun dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d – endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.
Gambar 2.2 Terbentuknya Spora dan Kristal saat sporulasi
Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk protein murni yang kaya akan asam glutamate dan asam aspartat. Berdasarkan protoksinnya, Kristal protein memiliki berbagai macam bentuk antara lain bipiramidal, kuboidal, persegi panjang, dan jajaran genjang. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.
Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60 kDA yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta. Namun. pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus lepidoptera, yaitu di atas 9.5, toksin tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera. B. thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya.
c. Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada makhluknya sendiri akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.
Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme umumnya digolongkan menjadi dua macam, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya bersifat intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilkan dalam jumlah yang relatif kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus diantara sel atau jaringan didalam tubuhnya.
Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk kristal protein-toksin. Kristal tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Penelitian Heimpel (1967) diketahui bahwa B. thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin, seperti α(alfa), β(beta), γ(gamma)-eksotoksin, dan δ(delta)-endotoksin, serta faktor louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa yang berperan penting sebagai insektisida adalah protein β-eksotoksin dan δ-endotoksin.
Berbagai macam B. thuringiensis diantaranya:
1. Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis menyerang kumbang kentang colorado dan larva kumbang daun.
2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai jenis ulat tanaman pertanian.
3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk dan lalat hitam.
4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva ngengat dan berbagai ulat, terutama ulat ngengat diamondback.
d. Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus thuringiensis
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.
Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard. Peneliti tersebut mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine, ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu, β-eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagai thermostabel eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat. Sementara α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).
Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B. thuringiensis terhadap serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap δ-endotoksin.
Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.
e. Mekanisme Patogenisitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.
Gambar. 2.3 Ulat yang mati akibat toksin Bacillus thuringien
f. Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat B. thuringiensis.
g. Penapisan Isolat yang Toksik
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat.
h. Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.
i. Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
2. Jamur Patogen Serangga (Beauveria bassiana)
Contoh insektisida biologi dari jamur adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini biasa dikenal sebagai cendawan patogen serangga yaitu cendawan yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat dikendalian oleh Beauveria bassiana antara lain berbagai jenis wereng, walang, walang sangit, ulat, lembing dan sundep beluk (penggerek batang).
Beauveria bassiana secara alami terdapat didalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang berkurang dan adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.
Beauveria bassiana termasuk dalam golongan pathogen serangga ordo Monililes, famili Moniliaceae. Jamur Beauveria bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya kumbang, ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga
pada tanaman atau pohon.
pada tanaman atau pohon.
a. Klasifikasi BVR (Beauveria bassiana)
|
b. Karakteristik Beauveria bassiana
· cendawan berwarna putih, penyebaran spora melalui air atau terbawa angin
· Menginfeksi serangga melalui integument/jaringan lunak. Selanjutnya hifa tumbuh dari konidia dan merusak jaringan
· Cendawan tumbuh keluar dari tubuh inang pada saat cendawan siap menghasilkan spora untuk disebarkan
· Apabila keadaan tidak mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung didalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integument.
· Tubuh serangga mati yang terinfeksi Beauveria bassiana mengeras seperti mumi.
. Mekanisme infeksi Beauveria bassiana terhadap serangga
Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. Beauveria bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauveria bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.
Dalam infeksinya, Beauveria bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala dengan toraks atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut.
Penggunaan jamur ini untuk membasmi hama dapat dilakukan dengan beberapa metode. Jamur ini bisa dipakai untuk jebakan hama. Adapun cara penggunaanya yaitu dengan memasukkan Beauveria bassiana beserta alat pemikat berupa aroma yang diminati serangga (feromon) ke dalam botol mineral. Serangga akan masuk ke dalam botol dan terkena spora. Akhirnya menyebabkan serangga tersebut terinfeksi.
Cara aplikasi lain yaitu dengan metode penyemprotan. Serangga yang telah terinfeksi Beauveria bassiana, selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan cara mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi.
masukan daftar pusakanya dong, sekalian cara membuatnya..
BalasHapus