Alga merupakan tumbuhan thallus yang tidak mempunyai akar, batang, daun, dan bunga. Struktur perkembangbiakannya hampir selalu bersel tunggal, jika ada yang bersel banyak setiap komponen sel membentuk satuan reproduksi baik sebagai zoospora maupun gamet. Alat reproduksi tidak memiliki lapisan luar yang terdiri atas sel-sel steril. Alga tidak pernah menghasilkan embrio, yaitu zigotnya tidak pernah berkembang menjadi tumbuhan muda yang bersel banyak ketika masih terbungkus oleh alat kelamin betina (Dewi, 2006).
Morfologi
Menurut Luning (1990) dalam Jelantik (2003), alga makroskopis memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
1. Tubuhnya tersusun dari banyak sel
2. Struktur tubuhnya berupa thallus yaitu suatu struktur yang belum dapat dibedakan dengan jelas antara akar, batang, dan daun.
3. Di dalam sel-sel tubuhnya terdapat pigmen penyerap cahaya yang berupa kloroplas atau kromatofor
4. Bersifat autotrof yang dapat menghasilkan zat organik dan oksigen melalui proses fotosintesis
5.
12 |
Struktur anatomi thallus untuk tiap jenis alga makroskopis berbeda-beda. Ada thallus yang memiliki percabangan dan ada pula yang tidak. Percabangan thallus ada yang dichotomus (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang-seling), dan verticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama). Menurut Aslan (1998) dalam Widayanti (2008), sifat substansi thallus juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gelatin (gellatinous), mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan (cartilaginous), dan berserabut (spongious). Gambar berikut menyajikan berbagai bentuk thallus dan tipe percabangannya.
|
|
|
|
|
Sebagian besar alga mempunyai dinding sel yang jelas, tetapi beberapa marga dan sel-sel reproduktif tertentu tidak mempunyai dinding sel. Materi penyusun dinding sel alga adalah: selulosa, xilan, manan, polisakarida yang mengandung sulfat asam alginate, protein, silikon, dioksida, dan CaCO3. Dinding sel alga tidak dibentuk oleh satu senyawa, tetapi merupakan matriks dari satu materi yang bergantian dengan materi yang lainnya atau terbentuk dari lapisan-lapisan berbagai materi yang berbeda. Semua golongan alga mengandung klorofil dan beberapa karotenoid. Dalam pigmen karotenoid termasuk karoten dan xantofil. Di samping pigmen tersebut di atas yang larut dalam pelarut organik, ada pula pigmen yang larut dalam air, yaitu fikobiliprotein, atau fikobilin. Pigmen ini terdapat dalam alga biru dan alga merah.
Walaupun alga tidak memiliki organ batang, akar, daun, dan bunga, namun bentuknya berkisar dari tumbuhan yang bersel tunggal (mikroskopik) sampai yang bersel banyak (makroskopik) yang sangat kompleks yang panjangnya mencapai 70 meter. Karena demikian besarnya kisaran bentuk alga, maka Gupta (1981) dalam Dewi (2006) membedakan bentuk alga sebagai berikut
1. Bersel tunggal
a. Bersel tunggal yang dapat bergerak
Contohnya: Chlamidomonas
b. Bersel tunggal yang tidak dapat bergerak
Contohnya: Chlorella, Synecoccus
2. Thallus bersel banyak
Dibagi menjadi 5 bentuk sebagai berikut:
a. Koloni
- Koloni yang dapat bergerak, contohnya Volvox, Pandorina
- Koloni yang kokoid yang tidak dapat bergerak, contohnya Hydrodiction, Pediastrum
b. Agregat
Contohnya Palmella, Gloeocapsa
c. Filament
- Filamen yang bercabang, contohnya Ulothrix, Spirogyra
- Filamen yang bercabang, contohnya Cladophora
- Filamen yang heterotrikos, contohnya Chaelophora, Ectocarpus, Stigeoelonium
- Parenkim semu, contohnya Nemaliun
d. Sipon
Contohnya Briopsis, Vancheria
e. Thallus Parenkim
Contohnya Ulva, Porphyra, Panctaria
Keragaman alga makroskopis relatif rendah dengan jumlah spesies sekitar 8.000 spesies. Walaupun alga makroskopis diketahui menyebar secara luas mulai dari perairan kutub sampai pada perairan tropis baik di belahan bumi utara maupun di belahan bumi selatan, namun masing-masing spesies alga makroskopis memiliki daerah sebaran tertentu pada laut-laut di seluruh dunia (Luning, 1990).
Habitat Alga
Tempat hidup alga umumnya di air, baik air tawar, laut maupun air payau. Tumbuhan alga juga ditemukan di daerah bersalju, bersimbiosis dengan organisme lain seperti lumut, paku atau fungi (membentuk lichens yang mampu hidup di atas batu yang gersang dan kering), dan pada sumber air panas. Alga dapat tumbuh hampir di semua tempat yang cukup basah dan cukup cahaya untuk berfotosintesis. Salah satu habitat yang paling ekstrim adalah alga yang dapat hidup pada jaringan tubuh hewan seperti pada beberapa jenis mentimun laut, binatang-binatang karang yang mengadakan simbiosis yang saling menguntungkan. Beberapa jenis alga memiliki “holdfast” sehingga dapat melekat pada substrat, tetapi ada juga melayang bebas dalam air bersama makhluk lain membentuk plankton. Alga sangat penting sebagai produsen yang menyediakan makanan bagi sebagian besar hewan air (Loveless, 1989 dalam Dewi 2006).
Faktor-Faktor Ekologis Penentu Kehidupan Alga
Kehidupan biota laut, baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun mikroba, dimana pun ia terdapat selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Adapun beberapa faktor ekologis yang mempengaruhi kehidupan alga seperti keadaan substrat dasar perairan, cahaya, suhu, salinitas, kekeringan, nutrien dan gerakan air. Tiap spesies alga memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor ekologis tersebut. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh bersama-sama dan sederajat, atau satu faktor lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor yang lain. Seperti pada muara sungai, faktor salinitas lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-faktor lain dalam kaitannya dengan sebaran biota dari sungai ke laut dan sebaliknya.
1. Substrat
Semua makhluk hidup memerlukan tempat tumbuh untuk menunjang kehidupannya. Secara ekologis, alga merupakan phytobenthos berukuran makro yang memerlukan substrat sebagai tempat melekatnya. Substrat yang dapat digunakan sebagai tempat melekat adalah pasir, batuan karang, coral mati, tanaman lain, dan mungkin benda-benda padat yang kebetulan tenggelam di dalam laut. Alga melekatkan dirinya pada substrat dengan perantaraan organnya yang disebut dengan holdfast. Berbeda dengan tumbuhan darat, alga tidak memerlukan struktur jaringan untuk menyokong tegaknya tubuh dalam air. Hal ini dimungkinkan karena air telah menyediakan daya apung yang membuat bagian-bagian tubuh alga dapat terangkat ke atas di dalam kolom air. Disamping itu, pada spesies alga tertentu ditemukan struktur organ menyerupai bola-bola kecil yang dapat menyerap udara dan berperan sebagai pelampung, sehingga bagian-bagian tubuh alga tersebut dapat terangkat ke atas untuk memaksimalkan penyerapan cahaya (Sze, 1993, Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Dasar perairan biasanya terkait dengan tingkat kecerahan perairan. Perairan dengan dasar karang atau karang mati biasanya memiliki kejernihan air yang relatif baik. Hal ini cukup penting bagi berlangsungnya fotosintesis alga. Dasar perairan yang keras, kokoh dan kuat yang tidak dapat dipindahkan oleh gelombang atau pengaruh lain, seperti batu-batuan dan batu karang merupakan substrat yang baik bagi kehidupan alga yang merupakan bagian terbesar dari vegetasi laut. Dasar perairan yang lemah dan gembur kurang baik bagi kehidupan alga, tetapi banyak dihuni oleh alga yang berukuran kecil. Dasar perairan yang berlumpur menyebabkan penetrasi cahaya rendah dan menempelnya lumpur pada alga. Keadaan ini menyebabkan efektivitas pemanfaatan cahaya menurun sehingga alga tidak dapat bertumbuh dan menyebabkan kematian dalam jangka waktu lama (Ambas, 2006).
2. Cahaya
Cahaya matahari sebagai sumber energi sangat berpengaruh terhadap alga karena cahaya sangat diperlukan untuk melangsungkan proses fotosintesis dan berperan sebagai sinyal lingkungan yang dapat merangsang proses pertumbuhan dan perkembangan pada alga (Luning, 1990 dalam Jelantik, 2003). Cahaya merupakan faktor yang dominan dalam menentukan distribusi vegetasi tumbuhan akuatik.
Transparansi air laut lebih besar dibandingkan air tawar, sehingga cahaya lebih dalam menembus air laut dibandingkan air tawar. Kegiatan fotosintesis air laut dapat berlangsung sampai kedalaman yang cukup besar yaitu sampai kedalaman 200 m. Alga hanya mungkin tumbuh di perairan dengan kedalaman tertentu dimana sinar matahari sampai ke dasar perairan.
Mutu dan kualitas cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Cahaya memiliki spektrum warna yang berbeda sesuai dengan panjang gelombang. Air laut dapat mengurangi intensitas cahaya, serta dapat menyerap warna yang berbeda dengan panjang gelombang lebih pendek seperti warna biru, hijau, dan kuning tidak begitu banyak diserap seperti halnya warna merah. Pembentukkan spora dan pembelahan sel dapat dirangsang oleh cahaya merah berintensitas tinggi. Menurut Nybakken (1992), alga intertidal memerlukan cahaya dengan panjang gelombang terpanjang (merah) yang diserap oleh air dengan cepat, dan cenderung banyak ditemukan di daerah intertidal yang lebih tinggi, sehingga ketika alga tenggelam (ketika benar-benar berfotosintesis), alga tersebut tidak boleh berada di tempat yang terlalu dalam di bawah penetrasi cahaya merah (kira-kira 2 m).
Intensitas maupun panjang gelombang berpengaruh pada pengendalian penyebaran alga. Karena alga intertidal utama dibagi ke dalam 3 kelompok: merah, cokelat, dan hijau, dan ketiganya menyerap spektrum cahaya yang berbeda, maka dapat dikatakan bahwa alga-alga tersebut akan tersusun di sepanjang gradien kedalaman. Pada satu gradien, alga hijau berada di tempat teratas karena menyerap sinar merah, alga cokelat di tengah, dan terakhir alga merah yang menyerap cahaya hijau terdapat di daerah yang terdalam (Nybakken, 1992). Menurut Aslan (1998) dalam Widayanti (2008) kebutuhan cahaya pada alga merah agak rendah dibandingkan alga coklat. Hal ini disebabkan oleh alga merah memiliki pigmen xantofil, karoten, dan fikobiliprotein yang mampu menyerap energi cahaya gelombang pendek dan ditransfer ke klorofil a. Alga yang berwarna hijau akan tumbuh subur di dekat permukaan dengan intensitas cahaya yang tinggi dengan cahaya merah yang melimpah, sedangkan alga merah dapat hidup pada perairan yang lebih dalam dengan kondisi intensitas cahaya yang lebih rendah yang mampu menggunakan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih pendek untuk melakukan fotosintesis.
3. Suhu
Secara prinsip suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakkan sebagai akibat terbentuknya kristal es dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan alga seperti kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respirasi (Luning, 1990).
Berbeda dengan yang di daratan, variasi suhu di air tidak begitu besar. Suhu air di permukaan jarang sampai melebihi 300 C yang tidak pernah berada di bawah titik beku -3,60 C. di laut yang agak dalam suhu agak rendah dan seragam. Dengan amplitudo suhu yang relatif kecil, alga dapat melakukan kegiatan sepanjang musim. Pada musim panas melakukan kegiatan vegetatif sedangkan pada musim dingin mengadakan reproduksi.
Dalam hal kelangsungan hidup, maka alga-alga yang bersifat eurythermal dapat bertahan hidup pada perairan yang suhunya sangat berfluktuasi, sedangkan alga-alga yang bersifat stenothermal tidak dapat hidup pada lingkungan yang demikian. Alga-alga yang bersifat eurythermal dapat menyebar secara luas dan cenderung generalis, sedangkan alga-alga yang stenothermal memiliki wilayah sebaran yang sempit dan cenderung bersifat spesialis dalam batas kaitannya dengan batas toleransi terhadap suhu (Luning, 1990).
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan, maka suhu optimal bagi pertumbuhan alga berbeda-beda tergantung jenis alga dan lintang tempat dimana alga itu berada. Sebagai contohnya, jenis alga yang berada di daerah kutub dapat tumbuh dengan baik pada suhu 0-100 C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah iklim sedang yang agak dingin dapat hidup dapat tumbuh dengan baik pada suhu 10-150 C. Jenis alga yang hidup di daerah iklim sedang yang agak hangat dapat tumbuh dengan baik pada suhu 10-200 C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah tropis dapat tumbuh dengan baik pada suhu 15-300 C (Luning, 1990).
Dalam kaitannya dengan pembiakkan, maka suhu sangat mempengaruhi pembentukkan gamet dan spora. Suhu yang tinggi dapat menghambat pembentukkan gametangia ordo alga tertentu yang hidup di daerah iklim sedang yang hangat (Luning, 1990).
4. Salinitas
Menurut Kennish (2001), salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari garam anorganik yang terlarut di dalam 1 kilogram air laut sesudah semua bromin dan iodin digantikan dengan jumlah yang sama oleh klorin, semua karbonat dikonversi menjadi oksida dalam jumlah yang sama, dan semua bahan-bahan organik teroksidasi pada suhu 4800C. Salinitas biasanya dinyatakan dalam satuan satu per seribu (0/00), tetapi dapat juga dinyatakan dalam milligram per liter (mg/L), miliequivalent per liter (meq/L), gram per kilogram (gr/kg), atau persen (0/0).
Salinitas di lautan berkisar antara 33 sampai dengan 38 0/00 dengan rata-rata 35 0/00. Muara sungai memiliki lebih banyak variasi salinitas dibandingkan laut. Keadaan ini berubah secara temporer dalam tahunan, musiman, harian dan siklus tidal dan secara ruang menurut garis longitudinal, bujur dan lintang. Percampuran antara air sungai dan air laut, larutan berbeda secara signifikan ditinjau dari komposisi sifat fisik dan kimianya sehingga berpengaruh terhadap variasi suhu (Kennish, 2001).
Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada organisme dan tumbuhan yang hidup di perairan. Salinitas perairan yang ideal bagi lahan budidaya alga berkisar antara 28-34 permil, dimana salinitas optimumnya adalah 32 permil (Ambas, 2006). Agar dapat tumbuh dengan baik, tekanan osmosis di dalam sel-sel alga harus sesuai dengan tekanan osmosis lingkungan perairan tempat hidupnya. Mengingat salinitas berbanding lurus dengan tekanan osmosis, maka tekanan osmosis sel-sel alga yang hidup di laut yang bersalinitas lebih tinggi menjadi lebih tinggi dibanding tekanan osmosis alga yang hidup di laut yang bersalinitas lebih rendah (Luning, 1990).
Kadar garam di samudra bebas kurang lebih 3,5 %, tetapi pada tempat tertentu menyimpang dari angka tersebut. Bila terjadi banyak penguapan maka kadar garam akan meningkat, tetapi bila terjadi pengenceran oleh adanya air tawar maka kadar garam menurun. Penurunan kadar garam tanpa disertai perubahan iklim menyebabkan perubahan populasi alga hijau, alga perang maupun alga merah. Secara umum akan terjadi penurunan pertumbuhan vegetasi, bahkan pada konsentrasi yang lebih rendah alga perang dan merah menjadi kerdil.
Terkait dengan pertumbuhan, maka salinitas yang ekstrim dapat menurunkan laju pertumbuhan alga secara tajam. Tingkat penurunan laju pertumbuhan ini bergantung juga kepada daya toleransi alga terhadap fluktuasi salinitas (Luning, 1990). Beberapa daerah yang perlu dihindari sebagai lahan budidaya alga laut adalah muara sungai. Daerah ini memiliki salinitas yang rendah dibandingkan dengan perairan laut yang tidak mendapatkan suplai air tawar. Bahkan pada musim hujan, pasokan air tawar yang masuk akan semakin banyak dan menurunkan nilai salinitas secara drastis. Hal ini berdampak kurang baik terhadap pemeliharaan alga laut (Ambas, 2006).
5. Kekeringan
Suatu alasan yang unik menyatakan bahwa rendahnya keanekaragaman alga mungkin disebabkan karena hampir semua alga tidak mengalami tekanan kekeringan. Tingginya keanekaragaman tumbuhan darat adalah karena secara periodik mereka mengalami tekanan kekeringan ( Luning, 1990)
Daya toleransi alga terhadap kekeringan dapat dipengaruhi oleh morphologi dan bentuk pertumbuhan dari alga itu. Semakin luas permukaan spesifik alga itu, semakin tidak tahan alga itu terhadap kekeringan. Untuk mengurangi jumlah penguapan air, beberapa jenis alga bertalus ramping dan memiliki bentuk pertumbuhan talus yang rapat dan saling tumpang tindih dengan maksud agar luas permukaan spesifik yang bersentuhan dengan udara dapat berkurang. Dengan demikian, penguapan air dapat dikurangi.
6. Nutrien
Nutrisi merupakan faktor ekologis yang penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap organisme. Tidak seperti tumbuhan pada umumnya yang zat haranya tersedia dalam tanah, zat hara alga diperoleh dari air sekelilingnya. Bila diamati secara seksama bagian yang menyerupai akar hanya berfungsi sebagai pelekat saja. Penyerapan zat hara dilakukan melalui seluruh bagian tanaman (Indriani dkk, 1997). Phosphor dan nitrogen secara normal konsentrasinya rendah di dalam air laut, sehingga sering menjadi faktor pembatas untuk pertumbuhan rumput laut. Nitrogen diserap oleh alga dalam bentuk nitrat dan ammonium. Apabila kadar nitrat dan phospat melimpah di perairan maka akan mempengaruhi stadia reproduksi alga (Jelantik, 2003).
7. Gerakan Air
Gerakan-gerakan air laut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti angin yang menghembus di atas permukaan air laut. Pengadukkan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua lapisan air, perbedaan tinggi permukaan air laut, pasang surut, dan lain-lain. Gerakan air laut ini dikenal sebagai arus, gelombang, gerakan massa air ke permukaan (upwelling). Gerakan air laut penting bagi berbagai proses biologik dan nonbiologik dalam laut.
Gerakan air diperlukan untuk mempercepat difusi gas dan ion-ion di dalam air. Dengan lancarnya difusi gas dan ion-ion yang diperlukan oleh alga maka pertumbuhan alga akan menjadi lebih cepat. Gerakan air juga berfungsi dalam membantu mensuplai zat hara dan membersihkan kotoran yang menempel pada alga (Ambas, 2006). Di pihak lain gerakan air yang berupa arus dan gelombang dapat menekan, melucuti, membengkokkan dan memelintir thallus-thallus dari alga terutama yang memiliki daun yang sempit yang hidup di perairan yang gelombangnya cukup besar. Gerakan air juga dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan rumput laut. Sebagai contoh adalah alga yang hidup pada perairan yang mengalir deras dapat tumbuh dengan daun yang sempit dan pipih serta membentuk berkas stream line. Sementara itu, alga dari jenis yang sama yang hidup pada perairan yang lebih tenang dapat tumbuh membentuk daun yang lebih besar dan bergelombang (Jelantik, 2003).
Gerakan air juga mempengaruhi gerakan dan sebaran spora alga yang kebanyakan bersifat planktonis. Kekuatan gerakan air akan mempengaruhi melekatnya spora pada substratnya. Alga yang tumbuh di perairan berombak dan berarus kuat akan memiliki karakteristik spora yang berbeda dengan alga yang tumbuh di perairan tenang. Gerakan air mengalir (arus) yang baik untuk pertumbuhan alga antara 20-40 cm/detik. Sedangkan gerakan air yang bergelombang (ombak) harus tidak lebih dari 30 cm. Bila arus air lebih cepat maupun ombak lebih tinggi, dapat menyebabkan alga robek, rusak dan terlepas dari substrat. Selain itu, penyerapan zat hara akan terhambat karena belum sempat diserap sudah dibawa kembali oleh air laut.
8. Pasang Surut
Pasang surut adalah peristiwa naik turunnya permukaan laut secara periodik suatu interval tertentu. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling mempengaruhi kehidupan zone intertidal (Nybakken, 1992). Adanya kisaran keadaan lingkungan yang silih berganti secara periodik antara keadaan air (pada saat pasang). Faktor-faktor fisik pada keadaan ekstrim organisme masih bisa menempati perairan, akan menjadi faktor pembatas dan mematikan apabila air sebagai isolasi dihilangkan. Kombinasi pasang surut dan waktu, dapat menimbulkan dua akibat langsung yang nyata pada kehadiran dan organisasi komunitas intertidal sebagai berikut:
a. Perbedaan waktu yang relatif lama suatu daerah tertentu di intertidal berada di udara terbuka dengan lamanya terendam air. Lamanya terkena udara terbuka merupakan hal yang sangat penting, sebab pada waktu itu organisme laut berada pada kisaran suhu terbesar dan kemungkinan mengalami kekeringan (kehilangan air). Semakin lama kena udara, semakin besar mengalami suhu letal (mati) atau kehilangan air di luar batas kemampuannya dan semakin kecil kesempatannya untuk mencari makan sehingga menyebabkan organisme kekurangan energi.
b. Pengaruh pasang surut terjadi secara teratur dan dapat diramalkan. Pasang surut cenderung menimbulkan irama tertentu dalam kegiatan organisme pantai.
Pasang surut adalah gerakan naik turunnya muka laut secara berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Pengaruh matahari terlihat pada saat pasang purnama dan pasang perbani. Pasang purnama dan pasang bulan mati adalah pasang yang menunjukkan kisaran terbesar (baik naik maupun turun) dan terjadi bila bulan dan matahari terletak sejajar sehingga kedua gayanya bergabung. Pasang perbani adalah pasang dengan kisaran minimum dan terjadi bila matahari dan bulan membentuk sudut siku-siku sehingga gayanya saling menetralkan. Pasang surut ada 3 macam antara lain:
a. Pasang surut diurnal artinya pasang surut yang terjadi dari satu pasang naik dan satu pasang surut.
b. Pasang surut semidiurnal artinya pasang surut yang mempunyai dua pasang naik dan dua pasang surut.
c. Pasang surut campuran artinya campuran antara pasang surut diurnal dengan pasang surut semidiurnal.
Pada gambar 2.3, disajikan mengenai posisi bulan dan matahari pada saat pasang-surut perbani dan pasang-surut purnama.
(A)
9. Terumbu Karang
Terumbu karang adalah endapan-endapan massif yang terbuat dari kalsium karbonat (CaCo3) yang terutama dihasilkan oleh binatang karang dari Phylum Cnidaria, Classis Anthozoa, Ordo Madreporaria (Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari tumbuhan alga berkapur seperti Halimeda sp dan organism-organisme lain yang dapat menghasilkan senyawa kalsium karbonat seperti tiram raksasa (kima) dari Tridacna sp dan Hippopus sp.
Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang disusun oleh komponen utama berupa hewan karang (Scleractinia) menghasilkan terumbu dan komponen lain yang berupa berbagai biota yang berasosiasi seperti alga berkapur Zooxanthella sp, berbagai jenis Echinodermata, Crustacea, Molluska, dan berbagai jenis ikan yang kesemuanya terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis di tengah komponen biotik yang mempengaruhinya.
10. Organisme Pemakan Alga
Alga merupakan tumbuhan yang hidup di laut, dimana memiliki peranan yang penting bagi kehidupan hewan laut dalam hal ini memiliki satu kesatuan dalam ekosistem laut. Organisme-organisme pemakan alga diantaranya adalah hewan laut dari Classis Echinodea, yang hidup di atas batu karang atau dalam lumpur pada pantai. Hewan ini bergerak dengan menggunakan duri yang bersendi dan kaki ambulakral. Beberapa jenis yang hidup pada sumur-sumuran di daerah pantai atau di bawah rumput laut dan ada juga yang membenamkan diri dalam tanah liat di muka muara sungai atau di bawah karang-karang yang lunak.
Reproduksi Alga
Pada tanaman alga dikenal tiga macam pola reproduksi yaitu:
1. Reproduksi generatif (seksual) dengan gamet
2. Reproduksi vegetative (aseksual) dengan spora
3. Reproduksi fragmentasi dengan potongan thallus (stek)
Pergiliran keturunan antara seksual dengan aseksual merupakan pembiakan alami yang terjadi pada tanaman rumput laut, sedangkan pembiakan secara stek biasanya banyak dilakukan dalam usaha membudidayakan rumput laut.
1. Reproduksi Seksual
Proses reproduksi seksual pada alga makroskopis termasuk alga pada umumnya berlangsung secara anisogami dan oogami yang mana keduanya lazim disebut heterogami. Pada alga makroskopis termasuk rumput laut, gamet-gamet dihasilkan oleh organ khusus gametangia yang terdiri atas dua macam yaitu spermatangia (antheridium) yang menghasilkan sperma, dan oogonium yang menghasilkan sel telur (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Sperma dan sel telur masing-masing memiliki bentuk, ukuran, motilitas yang berbeda. Sperma umumnya berukuran lebih kecil, berflagela dan dapat bergerak, sedangkan sel telur berukuran lebih besar, tidak berflagela, dan tidak dapat bergerak. Namun demikian, pada alga merah (Rhodophyta), spermanya tidak berflagella dan dapat bergerak secara amuboid dan disebut spermatia. Spermatia itu dihasilkan di dalam gametangia kecil yang disebut spermatangia. Sementara itu, oogonium pada alga merah membentuk tonjolan yang disebut trichogyne yang merupakan tempat untuk menerima gamet jantan (sperma). Oogonium pada alga merah lazim disebut carpogonium (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Pembentukkan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum) dalam suatu proses perkawinan, memiliki dua pola yaitu; 1) monoecious yaitu bilamana sperma dan ovum berasal dari satu individu ; 2) dioecious yaitu bilamana sperma dan ovum masing-masing berasal dari individu yang berbeda. Alga-alga yang melakukan perkawinan secara monoecious biasanya disebut alga homothallus, sedangkan alga-alga yang melakukan perkawinan secara dioecious biasanya disebut alga heterothallus (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Alga memiliki tiga pola siklus hidup secara seksual. Pada pola siklus hidup yang pertama terdapat satu tipe individu yang hidup bebas yang bersifat haploid. Dalam hal ini terjadi pembentukkan gamet pada alga yang telah matang. Gamet-gamet ini kemudian akan menyatu membentuk zygote yang bersifat diploid dan dapat mengalami dormansi. Bilamana saatnya tiba (kondisi baik), zigot ini dapat berkecambah, dan pada saat ini intinya mengalami meiosis sehingga menghasilkan zoospora, aplanospora atau juvenile yang mirip alga dewasa dan bersifat haploid. Pola siklus hidup yang pertama ini disebut pola haplobiontik dan dilambangkan dengan simbul H,h dan banyak terjadi pada alga hijau (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003). Pada gambar 2.4 berikut disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi seksual haplobiontik.
Pada pola hidup yang kedua, satu tipe individu alga yang hidup bebas bersifat diploid. Pola siklus hidup seperti ini dilambangkan dengan H,d. Individu yang bersifat diploid dapat memperbanyak dengan cara aseksual. Contoh alga yang memiliki pola siklus hidup seperti ini adalah alga hijau yang berbentuk tabung, dan alga batu (Fucales) dari divisi Phaeophyta (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003). Berikut disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi seksual haplobiontik diploid.
Pada pola siklus hidup yang ketiga terdapat dua tipe individu yang hidup bebas yaitu individu penghasil gamet (gametophyt) yang bersifat haploid dan individu penghasil spora (sporophyt) yang bersifat diploid. Gamet-gamet yang dihasilkan dapat menyatu membentuk zygote yang tidak mengalami masa dormansi. Zygote ini kemudian tumbuh menjadi sporophyt yang bersifat diploid. Dalam hal ini meosis terjadi pada saat pembentukkan spora (sporogenesis). Spora yang dihasilkan bersifat haploid dan berkembang menjadi gametophyte. Baik sporophyt maupun gametophyte masing-masing dapat memperbanyak dirinya dengan cara aseksual. Pola siklus hidup seperti ini dikenal dengan diplobiontik yang dilambangkan dengan simbul D, h+d, dan banyak terjadi pada alga merah (Rhodophyta). Siklus hidup diplobiontik ada dua macam yaitu isomorphik dan heteromorphik. Dikatakan isomorphik bilamana gametophyt dan sporophyt memiliki kesamaan bentuk, sedangkan heteromorphik bilamana gametophyt dan sporophyt masing-masing bentuknya berbeda. Isomorphik dilambangkan dengan simbul Di, h+d, sedangkan heteromorphik dilambangkan dengan Dh, h+d (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003). Berikut disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi seksual diplobiontik.
2. Reproduksi Aseksual
Pada alga, reproduksi aseksual berupa pembentukkan suatu individu baru melalui perkembangan spora, pembelahan sel, dan fragmentasi. Pembiakkan spora berupa pembentukkan gametofit dari tetraspora yang dihasilkan dari tetrasporofit. Tipe pembiakan ini umumnya terdapat pada alga merah. Pada alga yang bersel satu, setiap individu mempunyai kemampuan untuk membelah diri dan membentuk individu baru. Pada alga multiseluler seperti Enteromorpha, Polysiphonia, Gracilaria, dan Eucheuma, potongan thallusnya mempunyai kemampuan berkembang meneruskan pertumbuhan (Aslan, 1998 dalam Widayanti, 2008).
3. Reproduksi fragmentasi dengan potongan thallus (stek)
Dalam usaha budidaya rumput laut, misalnya marga Eucheuma, Gracilaria, umumnya dilakukan dengan penyetekan sebagai bibit untuk dikembangbiakan secara produktif. Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga dibuat potongan-potongan dengan ukuran tertentu (30-150 gram) untuk dijadikan bibit. Bibit stek ini ditanam dengan mengikatkannya pada tali-tali nilon di perairan dengan jarak tertentu atau pada rak apung. Pertumbuhannya dapat dilihat dengan bertambah besarnya bibit tersebut. Cepat atau lambatnya pertumbuhan tergantung pada jenis alga dan mutu lingkungan penanaman ( Aslan, 1998 dalam Widayanti, 2008).
Klasifikasi Alga
Menurut Smith (1955), alga dibagi menjadi 7 divisi sebagai berikut:
1. Divisi Chlorophyta dengan 2 kelas yaitu, kelas Chlorophyceae dan kelas Charophyceae
2. Divisi Euglenophyta dengan 1 kelas yaitu, kelas Euglenophyceae
3. Divisi Pyrophyta dengan 2 kelas yaitu, kelas Despmaphyceae dan kelas Dynophyceae.
4. Divisi Chrysophyta dengan 3 kelas yaitu, kelas Chrysophyceae, kelas Xantophyceae, dan kelas Bacillariophyceae
5. Divisi Phaeophyta dengan 3 kelas yaitu, kelas Isogeneratae, kelas Heterogeneratae, dan kelas Cyclosporeae
6. Divisi Cyanophyta dengan satu kelas yaitu, kelas Myxophyceae
7. Divisi Rhodophyta dengan satu kelas yaitu, kelas Rhodophyceae
Alga-alga makroskopis yang sebagian besar hidup di air laut termasuk pada divisi Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta.
1. Chlorophyta
Divisi Chlorophyta yang lebih dikenal atau populer dengan sebutan alga hijau, yaitu kelompok terbesar dari alga yang terdiri dari lebih kurang 429 marga dan 6600 jenis. Anggotanya 90% hidup di air tawar, sisanya hidup di air laut dan, beberapa ada yang hidup di air payau. Alga air tawar dapat dijumpai di mana saja asalkan lembab dan cukup cahaya. Alga air laut umumnya tumbuh pada perairan yang dangkal sepanjang pantai dan sering melekat pada substrat yang keras seperti batu dan batu karang.
Menurut Gupta (1981) dalam Dewi (2006) Chlorophyta dikenal dengan ciri-ciri yang sangat khas yaitu:
a. Mempunyai pigmen yang terdapat dalam kloroplas yang didominasi oleh klorofil a dan b sehingga menyebabkan alga ini berwarna hijau
b. Produk asimilasi berupa pati yang dalam pembentukkannya berhubungan dengan pirenoid
c. Gamet mempunyai 2 atau 4 flagel tipe whiplash yang sama panjangnya terletak pada bagian anterior
d. Reproduksi seksual isogami, anisogami, dan oogami
e. Setiap sel mempunyai inti sejati (ada membran inti)
f. Dinding sel terdiri atas selulosa
Reproduksi Chlorophyta dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara vegetatif, aseksual, dan seksual. Reproduksi vegetatif dapat terjadi dengan patahnya thallus atau pigmen menjadi dua atau lebih, dan setiap patahan akan tumbuh menjadi individu baru. Reproduksi aseksual dengan zoospore yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang berfungsi sebagai sporangia. Reproduksi secara seksual melalui proses plasmogami, kariogami, dan meiosis yang terjadi secara berurutan. Gamet dibentuk dalam gametangium. Sel telur dihasilkan oleh oogonium dan anterozoid yang dihasilkaan anteridium.
Ditinjau dari morfologinya, tumbuhan alga hijau dapat dikelompokkan ke dalam 5 golongan, yaitu:
a. Organisme yang uniseluler yang motil dan non motil
b. Organisme koloni yang motil dan kokoid
c. Organisme filamentik yang bercabang dan tidak bercabang
d. Organisme seperti membran/ daun (parenkim)
e. Organisme sinositik (pipa) (Gupta, 1981)
Sebaran alga hijau terdapat terutama di daerah litoral bagian atas, khususnya di belahan bawah atas daerah pasang surut, dan tepatnya pada kedalaman 10 meter atau lebih, yang habitatnya mendapat penyinaran matahari yang baik. Alga ini terdapat melimpah di perairan hangat (tropik).
Di Indonesia tercatat sedikitnya 12 marga alga hijau yang banyak dijumpai di perairan pantai, beberapa marga-marga alga itu adalah sebagai berikut:
a. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut, terdiri dari 15 jenis dan 5 varietas. Berikut ini disajikan gambar beberapa jenis alga Caulerpa.
b. Ulva mempunyai thallus berbentuk lembaran tipis seperti sla, oleh karenanya dinamakan sla laut. Ada tiga jenis yang tercatat, satu di antaranya Ulva reticulata. Alga ini biasanya melekatnya dengan menggunakan alat pelekat berbentuk cakram yang melekat pada batu atau substrat lain atau pada tabung dari cacing beruas. Tangkai yang pendek dapat menghubungkan alat ini dengan daun yang tipis dan lebar, 0,1 mm tebalnya, dan ukurannya tidak teratur. Daun yang lebar mencapai 400 cm2. Daunnya mempunyai sejumlah perforasi tak teratur dan tebalnya hanya dua sel. Tumbuhan ini dapat terlepas dari pegangannya yang tersebar di sekitar daerah pasang surut. Alga ini tumbuh bagus di selat-selat dan perairan teluk yang tenang. Pada gambar 2.8 berikut ini disajikan gambar Ulva lactuca.
c. Valonia (V. ventrikosa) mempunyai thallus yang membentuk gelembung berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang mati atau batu karang.
d. Dictyosphaera (D. cavernosa) dan jenis-jenis marga ini di Nusa Tenggara dinamakan bulung yang dimanfaatkan untuk sayuran.
e. Halimeda terdiri dari 18 jenis, marga alga ini berkapur menjadi salah satu penyumbang kapur air laut. Halimeda tuna terdiri atas rantai cabang dari potongan tipis berbentuk kipas. Potongan-potongan ini berkapur, masing-masing 2 cm tengahnya. Yang terbesar dihubungkan satu dengan yang lainnya oleh sendi-sendi yang tak berkapur. Mereka berada di bawah air surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah, pada pantai berbatu dan paparan terumbu, tetapi potongan-potongannya dapat tersapu ke bagian atas pantai setelah terjadi badai. Halimeda opuntia berbeda dengan H. tuna karena jenis ini mempunyai potongan bentuk kipas lebih kecil, berwarna hijau muda, mempunyai panjang 1 cm dan mempunyai bentuk pinggiran yang kurang teratur. Jenis ini terdapat di bawah air surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah pada pantai berbatu dan paparan terumbu. Pada gambar 2.9, disajikan gambar beberapa jenis alga Halimeda.
f. Chaetomorpha mempunyai thallus atau daunnya berbentuk benang yang menggumpal. Jenis yang diketahui adalah C. crassa yang sering menjadi gulma bagi budi daya rumput laut.
g. Codium hidup menempel pada batu atau batu karang.
h. Udotea terdapat atau tumbuh di dasar pasir dan terumbu karang.
i. Tydemania (T. expeditionis) tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan pada kedalaman 5-30 m di perairan jernih.
j. Bernetella (B. nitida) menempel pada karang yang mati dan pecahan karang di paparan terumbu.
k. Burgenesia (B. forbesii) mempunyai thallus yang berbentuk kantung silindrik berisi cairan berwarna hijau tua atau hijau kekuningan, menempel pada batu karang atau tumbuhan air.
l. Neomeris (N. annulat) tumbuh menempel pada substrat dari karang mati di dasar laut (Romimohtarto, 2001).
2. Phaeophyta
Phaeophyta atau alga coklat umumnya merupakan bentuk yang kompleks dibandingkan dengan alga lainnya. Jenis-jenis yang uniseluler tidak ditemukan. Tumbuhan ini memiliki ukuran beberapa millimeter sampai 70 meter. Saprofit maupun gametofit yang telah dewasa mempunyai bentuk tertentu, mengalami deferensiasi menjadi bagian yang tegak dan alat pelekat (holdfast).
Dalam Dewi (2006), karakteristik pada Phaeophyta sebagai berikut.
a. Pigmentasi
Alga coklat mempunyai klorofil a dan c, alfa dan beta karoten dan beberapa flavosantin dan leutin. Xantofil (fukosantin dan violaksantin) dalam jumlah banyak sehingga menyebabkan warna coklat sampai hijau kecoklatan. Pigmen terletak dalam plastid dengan tilakoid.
b. Cadangan makanan
Berupa laminarin, manitol, dan lemak. Pada beberapa jenis mengandung algin dan asam alginate sebagai komponen penyusun dinding selnya.
c. Motilitas
Alga coklat tidak ada yang uniseluler. Sel-sel reproduktif baik zoospora maupun gamet yang mempunuyai flagella yang umumnya terdapat pada bagian lateral yang tidak sama panjang. Flagel pada bagian anterior yang lebih panjang memiliki tipe tinsel dan pada bagian yang posterior lebih pendek memiliki tipe whiplash.
d. Dinding sel
Dinding sel menghasilkan asam alginat, banyak terdapat pada tipe-tipe yang disebut “kelp” dan “fukoid”. Asam alginate memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Biasanya digunakan sebagai stabilizer produk-produk komersial lainnya seperti produk “rumput laut” yang dapat dimakan.
Alga coklat banyak ditemukan pada habitat air laut dan hanya tiga jenis yang terdapat pada air tawar. Yang hidup di air laut terutama terdapat di daerah yang beriklim dingin dan tidak banyak yang terdapat di daerah tropik. Tumbuhan baik pada daerah litoral atau daerah pasang surut, tetapi tipe kelp terdapat pada perairan sublitoral. Jenis-jenis Sargasum dan Turbinaria terdapat di daerah tropik dan subtropik.
Smith (1955) membagi divisi Phaeophyta menjadi 3 kelas sebagai berikut.
a. Kelas Isogeneratae
Daur hidupnya menunjukkan pergantian yang isomorf.Contohnya bangsa Ectocarpales, dan Dictyotales
b. Kelas Heterogeneratae
Daur hidupnya menunjukkan pergantian yang heteromorf. Contohnya bangsa Laminariales, dan Desmarestiales.
c. Kelas Cyclosporae
Tidak menunjukkan adanya pergantian keturunan, hanya mempunyai keturunan yang diploid saja. Contohnya bangsa Fucales.
Menurut Romimohtarto (2001), di Indonesia terdapat delapan marga alga coklat yang ditemukan yaitu sebagai berikut.
a. Cystoseira sp yang hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu karang dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama-sama dengan komunitas Sargasum dan Turbinaria. Alat ini memiliki dua atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Terdapat kantung udara kecil di sepanjang thallus. Pada gambar 2.10 disajikan gambar Cystoseira ericoides.
.
b. Dictyopteris sp yang hidup melekat pada batu di pinggir luar rataan terumbu, jarang dijumpai.
c. Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu karang mati di daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai thallus bercabang yang terbagi dua. Thallus yang pipih dan lebarnya 2 mm, tersusun atas tiga lapis sel. Lapisan tengah yang terdiri dari sel yang besar diapit oleh dua lapisan atas dan bawah yang terdiri dari sel yang sangat kecil. Alga ini mempunyai bagian berbentuk silindrik yang menyerap dan mempunyai alat perekat dalam bentuk sebundel benang-benang yang bentuknya seperti rambut. Thallusnya menghasilkan cabang lateral yang dapat lepas untuk membentuk alga baru yang bebas dalam perkembangbiakan vegetatif. Pada gambar 2.11, disajikan gambar alga Dictyota dichotoma.
d. Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat perekat berbentuk cakram kecil. Alga ini hidupnya bercampur dengan Sargasum dan Turbinaria dan hidup pada rataan terumbu.
e. Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu dan sebarannya sangat luas di Indonesia.
f. Padina (P. australis), sinonimnya P. gymnospora, tumbuh menempel di batu pada daerah rataan terumbu, baik di tempet terbuka di laut maupun di tempat terlindung. Padina commersonii adalah alga coklat yang banyak dijumpai di bawah paras pasang surut. Alat perlekatannya yang melekat pada batu atau pasir terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi menjadi cuping-cuping pipih 5-8 cm lebarnya. Tangkai yang pendek dan pipih menghubungkan alat pelekatnya dengan ujung yang meruncing dari selusin daun berbentuk kipas atau lebih. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm, dan pinggirannya berakhir dengan suatu meristem, di tempat itu kerap terjadi pertumbuhan dan khas menggulung ke dalam untuk perlindungan yang lebih baik. Setiap daun ditandai oleh satu seri sabuk-sabuk sepusat (konsentrik), yang merupakan deretan-deretan sel. Daun yang lebih lebar biasanya membelah ke dalam sepanjang jari-jari. Daunnya berwarna coklat kekuningan, tetapi dapat kelihatan keabu-abuan disebabkan karena adanya kerak terdiri dari lapisan tipis kapur pada bagian atasnya. Pada gambar 2.12, disajikan gambar Padina pavonia.
g. Sargasum terdapat teramat melimpah mulai dari air surut pada pasang surut setengah ke bawah. Alga ini hidup pada batu atau bongkahan karang dan dapat terbedol dari substratnya selama ombak besar menghanyutkannya ke permukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai. Warnanya bermacam-macam dari coklat muda sampai coklat tua. Alat pelekatnya terdiri dari cakram pipih. Dari cakram ini muncul tungkai yang pendek silindrik yang tegak. Dari tangkai yang pendek ini muncul poros-poros silidrik panjang. Masing-masing poros ini dapat mencapai 1 m panjangnya di daerah bawah litoral dimana Sargasum hidup. Pada poros yang silindris dengan diameter 3 mm terdapat bentuk-bentuk seperti daun, kantong udara, dan cabang-cabang perkembangbiakan.
h. Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat, T. connoides, T. decurrens, dan T.ornate. Mereka mempunyai cabang-cabang silindrik dengan diameter 2-3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1-1,5 cm panjangnya. Ini berakhir pada sebuah reseptakel dengan pinggiran bergerigi dan garis tengahnya kira-kira 1 cm. Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.
3. Rhodophyta
Rhodophyta memiliki thallus yang bersel banyak (multiseluler), hanya beberapa jenis yang bersel tunggal. Thallus mempunyai bentuk yang beranekaragam. Sel memiliki plastida yang mengandung klorofil a, d, dan pigmen fotosintetik lainnya yaitu xantofil, fikobiliprotein (fikoeritrin dan fikosianin). Jjumlah kedua pigmen ini sangat banyak sehingga menutupi klorofil dan menyebabkan ganggang ini berwarna merah. Semua pigmen berada dalam tilakoid kecuali fikobiliprotein yang terdapat pada bagian permukaan. Pigmen-pigmen ini dapat mengabsorpsi cahaya energi matahari yang kemudian cahaya itu ditransfer ke klorofil a, sehingga adanya pigmen ini mempunyai pengaruh langsung dalam proses fotosintesis (Gupta, 1981 dalam Dewi 2006).
Cadangan makanan berupa tepung floridae, yaitu suatu karbohidrat dalam bentuk butiran-butiran kecil yang tersimpan dalam sitoplasma dan di luar plastid. Pada beberapa alga juga terdapat gula floridasida galaktosida dan gliserol.
Dinding sel terdiri dari selulosa dan polisakarida yang menyerupai lender. Polisakarida ini adalah agar dan keragenan yang menyusun 70% dari berat kering dinding sel. Komponen dinding sel ini sangat menarik dan memiliki nilai komersiil yang sangat tinggi sebagai bahan stabilizer.
Reproduksi pada jenis primitif secara aseksual, yaitu dengan cara membelah sel atau dengan spora, sedangkan reproduksi seksualnya belum banyak diketahui. Pada jenis-jenis yang lebih maju umumnya terdapat reproduksi aseksual dan seksual (Gupta, 1981 dalam Dewi 2006). Sel kelamin jantan dari alga ini tidak berflagel yang disebut spermatium. Spermatium ini secara pasif terbawa oleh arus air, kemudian melekat pada alat kelamin betina (karpogonium). Setelah itu inti dari masing-masing sel kelamin bersatu dan membentuk zigot.
Rhodophyta mempunyai satu kelas yaitu Rhodophyceae. Kelas ini mempunyai 2 anak kelas, yaitu anak kelas Bungioidae dan anak kelas Plorideae (Smith, 1955). Sebaran alga merah sangat luas, tetapi banyak terdapat di perairan beriklim sedang. Beberapa jenis alga ini terdapat di daerah sebaran pasang surut, tetapi pertumbuhan yang subur terdapat di daerah bawah-pasang surut. Di perairan tropic alga ini umumnya terdapat di daerah bawah-litoral dimana cahaya sangat kurang. Mereka umumnya berukuran kecil. Sekelompok alga ini ada yang disebut Corallina, yang menyadar kapur dari air laut. Alga ini terdapat di terumbu karang dan membentuk kerak merah muda pada batu karang dan batu cadas. Banyak alga ini yang mempunyai nilai ekonomis dan diperdagangkan yang dikelompokkan sebagai ekspor komoditi.
Di Indonesia tercatat 17 marga yang terdiri dari 34 jenis. Marga alga tersebut diantaranya sebagai berikut:
a. Acanthophora terdiri dari dua jenis yang tercatat, yakni A. spicipera dan A. muscoides. Alga ini hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya. Jenis yang pertama sebarannya di Indonesia sangat luas sedangkan yang kedua sebarannya kurang meluas dan terdapat di tempat tertentu.
b. Actinotrichia (A. fragilis) terdapat di bawah pasang surut dan menempel pada karang mati. Sebarannya sangat luas terdapat pula di padang lamun.
c. Amansia (A. glomerata) tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang dan dapat hidup melimpah di padang lamun.
d. Amphiroa (A. fragilissima) tumbuh menempel pada dasar perairan di rataan pasir atau menempel pada dasar substrat di lain di padang lamun. Sebarannya sangat luas.
e. Chondrcoccus (C. hornemannii) tumbuh melekat pada substrat batu di ujung luar rataan terumbu yang senantiasa terendam air.
f. Corallina belum diketahui jenisnya. Alga ini tumbuh di bagian luar terumbu yang biasa terkena ombak langsung. Sebarannya tidak begitu luas.
g. Euchema adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah. Alga ini mempunyai thallus yang silindrik berdaging dan kuat dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke samping pada beberapa jenis. Thalusnya licin, warna alga ini ada yang tidak berwarna merah, tetapi hanya coklat-kehijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah. Di Indonesia tercatat empat jenis antara lain E. denticulatum (E. spinosum), E. edule, E. alvarezii (Kappaphycus alvarezii) dan E.serra.
h. Galaxaura terdiri dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G. subfruticulosa, G. subverticillata, dan G. rugosa. Mereka tumbuh melekat pada substrat batu di rerataan terumbu.
i. Gelidiella (G. acerosa) tumbuh menempel pada batu di daerah pasang hsurut atau bawah pasang surut. Alga ini muncul di permukaan air pada saat air surut dan mengalami kekeringan. Alga ini digunakan sebagai sumber alga yang diperdagangkan.
j. Gigartina (G. affinis=Carpopertis affinis) tumbuh menempel pada batu di pelataran terumbu, terutama di tempat-tempat yang masih tergenang oleh air pada saat air surut.
k. Gracilaria terdiri dari tujuh jenis, yakni G. arcuata, G. coronapifolia, G. folifera, G. eucheumioides, G. gigas, G. salicornia, dan G. verrucosa.
l. Halymenia terdiri dari dua jenis , yakni H. durvillae dan H. harveyuna. Mereka hidup di luar batu karang di luar pelataran terumbu karang yang selalu tergenang air.
m. Hypnea terdiri dari yakni H. asperi dan H. servicirnis. Alga ini hidup di habitat berpasir atau berbatu, ada pula yang bersifat epifit dan penyebarannya luas.
n. Laurencia terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni L. intricata, L.nidifica dan L. obtus. Alga ini hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang.
o. Rhodimenia (R. palmata) hidup melekat pada substrat terumbu dan batu.
p. Titanopyra (T. pulchra) dijumpai sangat jarang. Jenis ini terdapat di perairan Sulawesi.
q. Porpyra adalah alga kosmopolitan. Marga alga ini terdapat mulai dari perairan tropik sampai daerah subtropik, tetapi persebaran tegaknya sangat terbatas. Pada umumnya alga ini terdapat di daerah litoral, hidup di atas batu karang pada pantai yang terbuka serta bersalinitas tinggi. Meskipun demikian ada pula yang menyukai daerah muara sungai dengan pantai yang agak terlindung serta salinitas perairan yang relatif rendah, yaitu Porpyra tenera.
DAFTAR PUSTAKA
Ambas, Irfan. 2006. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kab. Selayar). Makasar: Yayasan Mattirotasi. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 23 November 2009
BAPPEDA Kabupaten Buleleng. 2003. Peta Pembagian Wilayah Administrasi Kecamatan dan Peta Ketinggian Kecamatan. Peta Wilayah. Tidak diterbitkan
Bawa, W. 1996. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. STKIP Singaraja: Singaraja
Dewi, Puspita. 2006. Keanekaragaman Alga Makroskopis Pada Zone Litoral di Beberapa Pantai Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Tidak diterbitkan
Hill, K. 2001. Smithsonian Marine Station: Enteromorpha spp. Available from: irl_webmaster@si.edu. Diakses pada tanggal 28 Juli 2010
Indriani, Hety dan Sumiarsih, Emi. 1997. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Diktat Ekologi Hewan. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Tinjauan Singkat Tentang Aspek Biologi dan Ekologi Rumput Laut. Makalah Seminar. Tidak diterbitkan.
Kennish, Michael J. 2001. Practical Handbook of Marine Science. London: CRC Press
Lunning, Klaus. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography, and Ecophysiology. Canada: John Wiley and Sons, Inc.
McNaughton, S. J. and Larry L Wolf. 1973. General Ecology. Rinehart and Winstons, Inc.
Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia
Odum, Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Prees
Prabowo, Yudi. 2007. Budidaya Rumput Laut. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 23 November 2009
Pronawa, Ida Ketut. 2008. Studi Tentang Keragaman dan Kelimpahan plankton dan Nekton Dalam Kaitannya dengan Karakteristik Perairan di Muara Sungai Tukad Saba dan Tukad Bengkala. Tidak diterbitkan
Romimohtarto, Kasijan dan Sri Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan
Rusnani, Anita. 2006. Inventarisasi Banteng (Bos Javanicus d’Alton) di area Merumput Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Tidak diterbitkan
Setiawati. 2000. Analisis Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Lumut Pada Tembok Penyengker Pura Penulisan di Kabupaten Bangli. Tidak diterbitkan
Smith, G. M. 1955. Criptogamic Botanie Algae and Fungi. New Delhi: Tata Mc. Grraw Hill Publising Company. Ltd
Sutomo, Budi. 2006. Rumput Laut Bahan Pangan Lezat Multi Khasiat. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009
Widana, I Made. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Bintang Mengular (Ophiiuroidea) di Daerah Pasang Surut Pantai Lingga. Tidak diterbitkan
Widayanti, Ni Luh Lisna. 2008. Analisis Potensi Pantai Gondol di Kecamatan Gerokgak untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut Ditinjau dari Karakteristik Perairannya. Tidak diterbitkan.
Yesinta, Stephanie. 2009. Ekosistem Pesisir. Availlable from: www.dkp.go.id. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar